Sebuah Jurnal

Kajoetangan dan Kopi Lek Lan





 

Pegal ini masih nyata terasa. Untuk jalan saja harus dipaksakan sakitnya. Memang kelihatan sekali anak kantoran yang satu ini selain jarang berolahraga, juga sudah terlalu lama tidak berpergian. Seharusnya saya lebih banyak melenturkan otot, minimal di akhir pekan saat sedang tidak ngantor. Tapi realitanya, kasur selalu menang. Oke, kembali ke cerita.

 

Jadi malam itu saya paksakan untuk melihat- lihat seperti apa malam minggu di luar sana walau kaki ini terseret- seret. Begitu keluar dari hotel, keramaian menyapa. Bangku- bangku kosong yang kami lihat dan lewati pada siang hari, kini penuh. Kebanyakan pasangan dan rombongan yang menghabiskan malam minggu dengan penuh tawa dan cerita.

 

Saya terus berjalan namun tidak sampai ke ujung. Kajoetangan ramai sekali. Pedagang kopi instan kemasan menenteng bawaan mereka dan termos yang berisi air panas, menawarkan kepada para penikmat malam minggu di pedestrian.

 


Saya berhenti di sebuah kedai kopi yang baru saja buka. Ya, di hari kami tiba, kami melihat papan ucapan selamat berjejer di samping kiri kanan kedai kopi itu. Saya jadi ingin mencobanya. Rasanya cukup mengecewakan sehingga tidak saya review. Saya menenteng kopi itu dan keluar. Sebenarnya ingin melanjutkan kegiatan jalan malam itu, tapi saya urungkan niat saya. Saya pun berjalan berbalik arah menuju hotel.


 

Di tengah perjalanan balik, mata saya menangkap sesuatu yang membuat saya tersenyum. Sederetan buku tersusun rapi. Ternyata ini kedai kopi keliling. Saya berhenti kemudian berjalan melewatinya. Tapi saya balik lagi. Harus dikepoin nih, batin saya dalam hati. Kaki ini membawa saya berhenti di depan kedai kopi keliling ini.

 

Kopi Lek Lan

 

Kopi Lek Lan

Namanya Kopi Lek Lan. Pemiliknya ramah. Saat saya bertanya mengapa saya tidak melihat kedai ini saat saya lewat tadi, pemiliknya menjawab ringan, “baru datang, Mbak”. Kami mengobrol singkat. Mas barista menyeduh kopi saya terlebih dahulu. Saya menolak. Harus sesuai antrean. Ditunjukkannya kertas yang berisi daftar pesanan. Panjang.


 

 

“Ngga kapa- apa nih, Mas?”

“Iya, Mbak. Kawan semua.”

Oh.

                         

Kopi Lek Lan ini tidak menetap meski kebanyakan mangkal di Kajoetangan. Tempat dan jam buka bisa dilihat di instastory. Ini pengalaman pertama saya jajan kopi di kedai kopi keliling. Tentu saja ini menjadi pengalaman yang seru. Saya melihat grinder yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Hingga kopi saya akhirnya jadi dan saya menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan ke si Mas. Mas mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dari tasnya lalu menyerahkan ke saya.

 

Saya pulang dengan hati yang riang. Seperti anak yang baru habis diajak orang tuanya dari pasar malam. Sesampainya di kamar hotel, saya bingung bagaimana menghabiskan dua gelas kopi sekaligus. Ha ha. Tapi tak mengapa. Malam masih panjang. Saya mulai kepo – kalau tidak mau disebut stalking – media sosial Kopi Lek Lan. Di sana saya menemukan kesederhanaan.


 

Ternyata sesuatu yang ditemukan tanpa direncanakan terkadang indah itu benar adanya. Malam terakhir sebelum bertolak ke Batu memberikan kejutannya yang manis. Ada lagi. Melalui akun media sosial Kopi Lek Lan, saya menemukan kedai kopi lainnya untuk sarapan. Cerita menarik ini akan saya bahas saja ya di halaman selanjutnya. Selamat berakhir pekan!


Be First to Post Comment !
Post a Comment